Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah disebut dapat memberikan berbagai opsi penyelamatan perusahaan raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang diterpa isu pailit. Beberapa opsi tersebut di antaranya yakni relaksasi utang hingga insentif.
Head of Center of Industry, Trade and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan untuk mempertahankan puluhan ribu pekerja Sritex pemerintah perlu turun tangan, salah satunya lewat relaksasi utang.
"Relaksasi dari utang itu sendiri ya akan cukup baik jika Himbara ikut serta. Tetapi dalam mekanisme dan prosedural yang tentu juga sesuai ya," kata Andry kepada Bisnis, Senin (28/10/2024).
Selain relaksasi, pemerintah juga perlu membantu mencarikan offtaker industri yang dapat menyerap produk-produk dari Sritex. Dengan demikian, kata Andry, SRIL bisa menstabilkan pendapatan.
Kendati demikian, untuk mendukung pembayaran piutang Sritex kepada Kreditur yang tersendat, Andry menyebut pemerintah dinilai belum dapat memberikan penyelamatan berupa ambil alih kepemilikan perusahaan.
“Jika akan dijadikan BUMN pasti harus ada perizinan dari DPR. Lalu mau seperti apa modelnya? Sekarang juga banyak BUMN yang bermasalah, jadi belum tentu bisa menyelesaikan permasalahan perusahaan ini,” jelasnya.
Baca Juga
Di sisi lain, dia melihat kondisi industri tekstil saat ini masih diadang badai PHK apabila tidak ada kebijakan strategis dari Pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Untuk itu, pemerintah perlu turun tangan mengatasi masalah tersebut.
“Seperti yang kemarin sudah dilakukan oleh Presiden, saya rasa cukup baik tetapi yang kita perlukan adalah bagaimana ekosistem dari industri tekstil ini bisa bersaing dan bisa menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,” terangnya.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan kasus pailit yang dihadapi Sritex akan menambah panjang permasalahan yang dihadapi indsutri padat karya, khususnya industri tekstil.
Menurutnya, permasalahan klasik tahunan itu disebabkan ketidakharmonisan kebijakan yang semestinya mendukung industri domestik baik terkait akses pasar maupun biaya produksi.
Di sisi lain, sambung Faisal, pemerintah juga harus mengurai permasalahan biaya produksi termasuk ongkos energi yang tinggi bagi industri. Dalam hal ini, penting untuk memberikan insentif untuk mengurangi biaya input.
“Akses pasar domestik ini juga banyak ketidaksinkronan yang menyebabkan malah justru menggerus pasar di dalam negeri untuk industri tekstil termasuk masalah kontrol terhadap impor baik legal maupun ilegal,” ujarnya.
Faisal menambahkan, pemerintah harus bergerak cepat mengatasi permasalahan yang dihadapi industri TPT yang merupakan industri padat karya, lantaran efeknya dapat berujung pada peningkatan pengangguran dan dampak sosial.